MATAHARIKU YANG LUKA
Di atas matahariku yang luka
Kubangun rumah tapa
Sisa pengembaraan. berpayung duka
Jauh dari kabut berbalut gelisah
Melangkah tegar
Agar aku mampu membaca senja dan bunga menamatkan peristiwa..
Mengaji kematian lewat jedele-jendela masa laluku
Dalam tangis pun kubiarkan duka berlari.
Melayat langit di atas kuburan sendiri .
Aku bersimpuh pada usia yang kian lusuh,
Tergenang dalam sunyi-Mu .
Seperti air mata.
Menitikan gerimis di teras menjelang semedi.
Pintu-pintu yang selalu terbuka
Dan dalam senyum-Mu aku terjaga
GERIMIS
Akhirnya sunyi pun merunduk
Di pucuk-pucuk dedauanan
Memahami sejuk-Mu
Dalam gerimis dan kabut
Kuusung segenap doa
Lalu kuberangkatkan sepanjang mimpi
Sebelum terbaring kekalahanku dalam gemetar sembahyang
Aku adalah gerimis
Menyiram-Mu pagi-pagi
KREMATORIUM
Teramat amis keringatku
untuk kusuguhkan di kamarmu. Bau dunia
dan abu pembakaran manusia. Siapa
membiarkan bunga-bunga kering di atas ranjang ?
Bayi yang lahir menangisi sahwat kematian
Memanjatkan ayat-ayat dahaga dalam semangkuk
kuahnya sendiri. Nikmati saja belatiku
dan kunyah leherku sampai merah (semawar)
Aku tak akan marah.
DALAM GEMURUHKU
Kuselami laut di malam paling larut
Agar kurenangi gemuruhMu
sampai riak pun sepakat dalam diam
Menjadi bunga-bunga karang
Menyelam bersama hiu dan mutiara
Dan tiba-tiba aku terjaga. Perahu
dan jiwaku telah menjelma
pasir pantai. Bertaburan dalam tangis.
EKSTASE
Kepayang jejakMu akan sembahyang kian usia
Mengalirkan luka dalam hampa sendiri. Kaca dan
tanpa kata-kata. Sajadahku airmataMu
Gemetar mereguk rindu.
Menembus pelukanmu. Ridhai ruhku menangisi
Peradaban. Terbingkai tajam sabitMu
Oh, aku menggema
tapi dimana gaungMu mengigau-igau
surga yang hilang?
ELEGI I
Sepertinya mimpi menghentakkanku dalam ranjang
Gerimis pun runtuh dibingkai pintu. Dalam terpejam
suaranya redam mengetuk dada diluar beranda.
Sepertinya sunyi mengunciku dari kata
Suara resah mengeliat di remang kelambu. Menghamburkan
Jejakmu yang jauh.
ELEGI II
Kunyanyikan matahari dalam gelisah kuncup melati
Seruling di bibir menyulam kepergian. Dan kini
airmata ngembara ke negri sunyi. Setelah jalan-jalan
hanya semacam keharuan. Oh, aku terlunta meninggalkan
geliat bunga.
ELEGI III
Menyelami percakapan bunga. Tinggal lagi
patung-patung teman mengajakku bicara.
Begitu khusuk menuntun degup jantung
Aku berlalu. Terlunta di antara rindu dan sembilu.
Dimusim ini mungkin kupu-kupu tak kan kemari
Aku mesti kembali kedalam sendiri.
SEBUAH JEJAK PADA SISA BERANDA
- untuk N –
Setelah kegaduhan melahirkan kelambu bagi jiwa kita
Kehampaan siapa mengintip-ngintip di balik pintu?
Mengganggu hening lampu yang teduh dalam pandanganmu
MENANTI
Kereta yang akan lewat adalah rel-rel usia yang
Terbujur kaku. Duduk-duduk di peron memandang kesunyian
menunggu. Selebihnya waktu tak henti memanjatkan
doa-doa duka cita, memanjatkan kealpaan lagi
Ruh pun terbaring dalam masa lalu yang hening.
Penantian selalu mencekik terjaga kita
Dalam bayangan kota yang jauh. Berlari menambah jarak
batas nurani. Dan berpandang dalam duga abadi
Atau kembali pada kematian sendiri?
SAJAK BELATI
Laut yang kuhunuskan ke dadaMu
menjelma camar yang terbang sebagai waktu
Dan aku keram ! Mengisi sisa usia
tenggelam di ujung belati
SKETSA MUSIM GUGUR
Mata hari yang tersimpan
di surgaMU
cahayanya menggigilkan bumi
Bunga-bunga berjatuhan menimbun
rumahku.
Rumahku dari kardus
dan jadi indah karenanya.
AKU MENCARI HANYA SEHEMBUS BADAI
Aku mmencari hanya sehembus badai. Terpatah-patah
dalam jejak semestaMu. Bukan mimpi sejuk
merindukan bumi yang mabuk. Sebab muara bagi gelisahku adalah angin ragu. Memahami arti diamMu
Dan badai senantiasa menyimpan dendam. Gugur bersama musim bersama waktu bersama bunga di atas jenuhku
Aku mencari hanya sehembus badai.
Sebagai badai tak kuhayati nurani peradaban tandus
disiram kematiannya. Membiarkan orang-orang berjelajah dalam benak langitMu, tanpa sepasang mata dan sepasang pengertian. Merangkak berbisikan
berpandangan dan sisanya adalah ziaraku yang terbakar panas pusaranMu. Aku tinggal kafan.
Tapi berkibafr dalam harapan.
BARINGKAN AKU GUSTI
Baringkan jasadku Gusti
bukan di langit atau bersama
bintang-bintang. Sebab aku
begitu dingin
Menjadi matahari. Baringkan saja
Gusti di atas bara api. Agar
kutulis lewat abuku, segala luka
Di kacaMu
SEDALAM ENGKAU
Membesuk matahari dalam pagi remangku
Aku ingin adzan terjaga pada sejuknya. Menyalati
fanaku sebelum terbit kesangsian. Atas
gelombang peradaban yang lembut ditiup kabutMu
Aku ingin segera mengenali, siul burung
di atap-atap rumah kosongMu. Lalu menerbangkannya
di saban pendakian
aku ingin meninggalkan bahasa sehari-hari
Percakapan sampah ditulis warna bunga. Kemudian
mendzikirkan langit dalam diam semadi
Tak lain berguru Engkau. Sedalam Engkau !
LIENASI
Cermin yang aku pakai ternyata airliurku
yang kumuntahkan berabad-abad kemanusiaan. Ada pun
bayangan yang kupikir wajah isteriku
tak lain iringan malaikat menangisi surga
sepanjang gerimis mengais di bak sampah dan manusia
Kesudahannya kusesali iringan pelayat
menangisi kemerdekaan
Aku tak mungkin pulang menghaturkan pesakitan
Di kamarku bayi mungil merengek belum usai. Minta
dibacakan iklan air susu sapi yang baru saja
kubakar bersama mimpi-mimpi buruk. O, kehangatan
dari siapakah mengalir ke manakah menghilir?
Peradaban mengajakku tertawa tapi aku sakit sendiri
Berlinangan air mataMu membasahi pipiku
MEDITASI
Menanti-nanti sendiri
serambi di dalam batin. Telah sujud
jantungku ke kediaman nunMu. Merantau
negeriMu. Kubaca kegelisahan sampai
tintaku. Tak ada nafas mendesah atau
kasidah bidadari. Kutulisis saja
batu-batu. Dan segala tentram
dalam renungMU
asslm saudari.....
BalasHapuspuisi anda sungguh nikmat untuk dibaca.....
keren sekali....
makasih
BalasHapus